Kamis, 10 Februari 2011

HARI AKHIRAT (4/4)

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Betapapun, pada akhirnya hanya ada dua tempat, surga atau neraka. Pembahasan tentang surga dan neraka, kita tangguhkan sampai dengan kesempatan lain. Ini disebabkan karena luasnya jangkauan ayat-ayat Al-Quran yang membicarakannya. Bukan saja uraian tentang aneka kenikmatan dan siksanya, tetapi sampai kepada rincian peristiwa-peristiwa yang digambarkan Al-Quran menyangkut perorangan atau kelompok, dan lain sebagainya. KAPAN HARI AKHIR TIBA? Al-Quran -demikian juga hadis-hadis Nabi Saw.- yang berbicara panjang lebar tentang hari akhir dari bermacam-macam aspek itu, tidak membicarakan sedikit pun tentang masa kedatangannya. Bahkan secara tegas dalam berbagai ayat serta hadis dinyatakan bahwa tidak seorang pun mengetahui kapan kehadirannya. Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahan (ketentuan waktunya) (QS Al-Nazi'at [79]: 42-44). Sekian banyak ayat Al-Quran yang mengandung makna serupa, demikian pula hadis-hadis Nabi Saw. menginformasikannya. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa malaikat Jibril pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. -dalam rangka mengajar umat Islam- "Kapan hari kiamat?" Nabi Saw. menjawab: "Tidaklah yang ditanya tentang hal itu lebih mengetabui dari yang bertanya." (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi Umar bin Khaththab). Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa kedatangannya tidak lama lagi. Misalnya surat Al-Isra' ( 17): 51, "Kapankah itu (hari kiamat)?" Demikian tanya kaum musyrik. Lalu Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah untuk menjawab: Katakanlah, "Boleh jadi ia dekat." Surat Al-Qamar (54): 1 juga menyatakan bahwa: Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan. Dan surat Al-Anbiya' (21): 1, menyatakan: Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat) sedangkan mereka berada dalam kelalaian, lagi berpaling (darinya). Nabi Saw. juga bersabda: Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku dengan) hari kiamat adalah seperti ini (sambil menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk dan tengah). (Diriwayatkan oleh Muslim melalui Jabir bin Abdillah). Apakah hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan kedekatan hari akhirat dari segi waktu? Boleh jadi. Tetapi ketika itu tidak dapat dipahami bahwa kedekatan itu hanya dalam arti besok, seribu atau sepuluh ribu tahun ke depan. Kedekatannya boleh jadi juga jika dibandingkan dengan umur dunia yang telah berlalu sekian ratus juta tahun. Tetapi boleh jadi juga hadis dan ayat-ayat tersebut tidak menginformasikan kedekatan dalam arti waktu. Bila kita cermati tentang kapan hari akhir tiba, maka jawaban yang diperintahkan kepada Nabi Saw. untuk diucapkan adalah "Boleh jadi ia dekat." Di sisi lain, ayat Al-Qamar dan Al-Anbiya' di atas, yang menggunakan bentuk kata kerja masa lampau untuk satu peristiwa kiamat yang belum lagi terjadi, mengandung makna kepastian sehingga kedekatan dalam hal ini dipahami dalam arti "pasti kedatangannya". Karena "segala yang akan datang adalah dekat, dan segala yang telah berlalu dan tidak kembali adalah jauh." Agaknya informasi Al-Quran tentang kedekatan ini, lebih dimaksudkan untuk menjadikan manusia selalu siap menghadapi kehadirannya. Karena itu pula, tidak satu atau dua ayat yang menegaskan bahwa kedatangannya sangat tiba-tiba, seperti misalnya firman berikut: Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada mereka secara tiba-tiba sedangkan mereka tidak menghindarinya? (QS Yusuf [ 12]: 107). Di sisi lain, ditemukan bahwa yang bertanya tentang waktu kedatangannya adalah orang-orang musyrik, bukan orang beriman. Orang-orang yang tidak beriman menyangkut hari kiamat, meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan orang-orang yang beriman merasa takut akan kedatangannya Mereka yakin bahwa kiamat adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam kesesatan yang jauh (QS Al-Syura [42]: 18). Ketakutan tentang hari kiamat akan mengantarkan orang yang percaya untuk berbuat sebanyak mungkin amal ibadah, sehingga mereka dapat menggapai kebahagiaan abadi di sana. BUAH KEPERCAYAAN TENTANG HARI KEBANGKITAN Al-Quran menghendaki agar keyakinan akan adanya hari akhir mengantar manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak menghasilkan keuntungan materi dalam kehidupan dunianya. Salah satu surat yang berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107). Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu menyembelih seekor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir. Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan: Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din? Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan dengan agama, tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan. Dengan demikian yukadzdzibu biddin dapat pula berarti mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Quran bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7. Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya? Seseorang yarlg kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama", lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian. Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau malaikat tetapi ia berkaitan dengan banyak hal, termasuk janji-janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan. Kepercayaan ini mengantarkannya meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan bahwa "sikap yang akan diambilnya merugikan/tidak menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantarkannya untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan keyakinannya itu. "Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri." Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama surat Al-Ma'un ini mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama atau kesadaran berkeyakinan tentang hari akhir, yang tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil. Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya. Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis: Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa yang mendustakan agama/hari kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya. Selanjutnya Sayyid Quthb menulis: Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang hukum sekitar batas-batas iman dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi sosial keagamaan. Sedangkan surat ini (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian Ilahi, yang tentunya berbeda dengan kenyataan-kenyataan lahiriah yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia. Demikian surat ini menjelaskan hakikat dan buah kepercayaan tentang hari akhir. Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Quran yang sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof. Antara lain berupa kegiatan diskusi yang menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja. Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut -apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia. Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan tempatnya, maka kesemua hal ini berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan para filosof dan ulama tentang soal tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan kepuasan penalaran akal daripada dorongan kehangatan iman. Wa Allahu 'Alam. [] Catatan kaki: 1 Ada tiga kemungkinan yang dapat tergambar dalam benak bagi sesuatu. Pertama, mustahil wujudnya, misalnya tiga lebih banyak dari lima. Kedua, mungkin (boleh jadi), misalnya Si A kaya atau miskin, hidup atau mati. Dan ketiga, pasti wujudnya, itulah Allah Swt., yang mustahil tergambar dalam benak kita tentang ketiadaan-Nya.